Senin, 23 Mei 2011
Mari Maknai Hidup
Mari Maknai Hidup
Hidup di dunia ini hanya sekali. Begitulah orang-orang sering bilang. Dunia, adalah tempat kita menyiapkan bekal untuk akhirat nanti. Tak bersiap-siap di dunia, maka ia akan rugi di akhirat. Ia takkan bisa kembali lagi ke dunia. Karena, walaupun ia berjanji tuk beramal sholeh di dunia, ia akan kembali terbuai dengan hawa nafsunya. Allah SWT berfirman, "...Seandainya mereka dikembalikan ke dunia, tentu mereka akan mengulang kembali apa yang telah dilarang mengerjakannya. Mereka itu sungguh pendusta." (QS. Al-An'aam: 28)
Hidup di dunia ini hanya sesaat. Layaknya pengembara yang beristirahat di bawah sebuah pohon. Lalu, dia akan melanjutkan perjalanannya yang jauh. Begitulah Rasulullah SAW mengibaratkan hidup ini. Tak lebih hanya seperti sebuah tempat peristirahatan.
Maka, manfaatkanlah waktu hidup kita yang sesaat ini, untuk menanam amal sholeh sebanyak-banyaknya. Agar kelak di akhirat nanti, kita bisa menuai hasil jerih payah kita itu. Isilah hidup ini dengan hal-hal yang bermanfaat.
Mungkin, terkadang kita merasa berat untuk menyusuri jalan kebenaran. Seperti mendaki tebing yang terjal. Namun, percayalah, setelah kita terbiasa untuk melakukan amal kebajikan, kita akan merasa bernafsu untuk terus menambah tabungan pahala kita. Berlari mendekat kepada Allah SWT. Tatkala kita sudah mereguk minuman cinta yang telah dihidangkan-Nya, kita akan semakin bernafsu lagi untuk mendekat dan terus mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Janganlah kita terbuai dengan tipuan-tipuan duniawi yang berserakan di muka bumi ini. Sadarlah bahwa kita tak memiliki banyak waktu untuk menjalani hidup di dunia ini. Apakah kita ingin melewati dunia ini dengan sia-sia? Tidak kan? Tentu kita ingin, dengan waktu yang diberikan Allah SWT, kita mampu meraih ridho dan surga-Nya. Bagaimana kita bisa meraih itu jika kita hanya berpangku tangan, bahkan melakukan banyak maksiat tanpa bertobat?
Raihlah cinta-Nya, niscaya kita akan mendapatkan ketenteraman dalam kehidupan. Betapa banyak orang kaya namun tidak tentram hidupnya. Itu karena mereka telah jatuh cinta kepada dunia. Sehingga ia mengisi waktunya hanya untuk menggapai dunia, bukan untuk meraih ridho-Nya. Semoga kita dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mencintai-Nya dan dicintai oleh-Nya. Wallahu a'lam bish-shawwaab.
Penulis adalah sahabat Republika Online
Minggu, 22 Mei 2011
Sikap Agung Rasulullah Menghadapi Pembenci Islam
Sikap Agung Rasulullah Menghadapi Pembenci Islam
Suatu hari Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah, ‘’Wahai Rasulullah, pernahkah engkau mengalami hari yang lebih buruk dari Perang Uhud?’’ Rasulullah menjawab, ‘’Suatu hari aku pernah menemui kaum yang sangat kejam yang belum pernah aku temui, yaitu hari di mana aku menemui kaum kampung aqobah (di Thaif), ketika aku ingin menemui (untuk meminta perlindungan, sekaligus menyebarkan islam) Ibnu Abi Yalil bin Abdi Kulal (salah satu pembesar di Thaif), tetapi dia tidak memenuhi keinginanku, lalu aku pulang dalam keadaan wajahku berdarah (karena perlakuan warganya yang melempaliranya dengan batu). Ketika aku berhenti di Qarnul Tsa’alib (Miqat Qarnul Manajil), aku melihat ke atas dan awan memayungiku sehingga aku merasa teduh. Lalu, aku melihat Jibril memanggilku, seraya berkata: ‘’Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan (hinaan) kaummu dan penolakan mereka kepadamu. Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung terhadapmu.’’
‘’Ya Muhammad,’’ sahut malaikat penjaga gunung. ‘’Jika engkau mau supaya aku melipatkan Akhsyabain (dua gunung di Makkahm, yaitu gunung Abi Qubaisy dan gunung yang menghadapnya) ini di atas mereka, niscaya akan aku lakukan.’’ Namun, Rasulullah SAW malah berdoa (tidak ada sedikit pun keinginan untuk membalasnya). Bahkan, aku berharap mudah-mudahan Allah mengeluarkan dari tulang rusuk mereka (keturunan) yang menyembah Allah yang Esa dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun (HR Bukhari Muslim).
Dari kisah di atas, banyak pelajar yang bisa kita renungkan. Pertama, ketika cacian dan perlakuan tidak manusiawi datang menghadapi Rasulullah, maka yang dikedepankan oleh beliau bukan dengan kembali mencaci, tapi dengan menunjukkan sikap baik.
Secara tidak langsung ini adalah dakwah terhadap mereka yang membenci Islam. Terbukti akhlak baik Rasulullah dan sahabatnya telah mengantarkan Islam bisa tersebar luas dengan waktu yang singkat. Dengan ini maka umat Islam dituntut lebih memperbaiki lagi akhlaknya sehingga yang membenci tahu akan keagungan umat Islam.
Kedua, umat Islam harus senantiasa introspeksi, apakah kita pernah menjelaskan tentang Islam kepada orang-orang yang menghina Islam? Karena boleh jadi mereka membenci Islam karena belum tahu tentang hakikat Islam.
Jika belum, maka kita harus memberikan penjelasan tentang Islam dengan berbagai pendekatan. Kalau Rasulullah dahulu suka memberikan surat-surat yang ditujukan kepada para raja, maka sekarang pun kita bisa berdakwah lewat buku, dengan menerjemahkan karya-karya Islam ke dalam bahasa yang dipakai Barat. Atau bisa dengan pendekatan seni dan budaya yang lebih bisa diterima oleh mereka.
Ketiga, mungkin ini yang luput dari kita selama ini, yaitu mendoakan mereka untuk mendapatkan pintu hidayah. Rasulullah SAW tahu bahwa berdakwah saja tidak cukup. Hidayah adalah urusan Allah maka jalan terbaik untuk memintanya adalah dengan doa. Wallahu a`lam bi as-showab
Penulis hikmah ini adalah penulis Buku Al-Quran Tematis (Mizan, 2011)
Syari'ah, Thariqah, Haqiqah dan Ma'rifah
Syari'ah, Thariqah, Haqiqah dan Ma'rifah
Kata syari'ah telah beredar luas di kalangan umat muslim. Bahkan, dalam al-Qur'an sendiri, kata tersebut telah dipakai antara lain pada Surah Al-Jatsiyah: 18. Pemakaian kata tersebut mengacu kepada makna ajaran dan norma agama itu sendiri. Dalam perkembangan Islam munculnya tiga kata thariqah, haqiqah dan ma'rifah, telah mengakibatkan terbatasnya pengertian syari'ah sehingga lebih banyak mengacu pada norma hukum. Sedangkan tiga kata lainnya menjadi terma yang terkenal dalam tasawuf. Karena itu ada baiknya kita lebih dahulu berbicara tentang tasawuf itu sendiri.
Mengenai kelompok tasawuf ada dua pendapat. Pertama, mereka adalah kelompok spiritual dalam umat Islam yang berada di tengah-tengah dua kelompok lainnya yang disebut kelompok formal dan kelompok Intelektual. Kelompok intelektual ini terdiri dari ulama-ulama mutakallim (ahli teologi), sedangkan kelompok formal terdiri dari ulama-ulama muhaddits dan fuqaha. Kedua, bahwa tasawuf itu hanyalah suatu kecenderungan spiritual yang membentuk etika moral dan lingkungan sosial khusus. Sehingga seharusnya kita katakan seorang muhaddttsin sekaligus juga ulama sufiyah, begitu pula seorang mutakallimin sekaligus juga ulama sufiyah.
Ajaran Tasawuf pada dasarnya merupakan bagian dari prinsip-prinsip Islam sejak awal. Ajaran ini tak ubahnya merupakan upaya mendidik diri dan keluarga untuk hidup bersih dan sederhana, serta patuh melaksanakan ajaran-ajaran agama dalam kehidupannya sehari-hari. Ibnu Khaldun mengungkapkan, pola dasar tasawuf adalah kedisiplinan beribadah, konsentrasi tujuan hidup menuju Allah (untuk mendapatkan ridla-Nya), dan upaya membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan duniawi lainnya. Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada kalangan kaum muslim angkatan pertama. Pada angkatan berikutnya (abad 2 H) dan seterusnya, secara berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan duniawi menjadi lebih berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhananya lebih dikenal sebagai kaum sufiyah.
Keadaan tersebut berkelanjutan hingga mencapai puncak perkembangannya pada akhir abad 4 H. Dalam masa tiga abad itu dunia Islam mencapai kemakmuran yang melimpah, sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah, seperti kita dapat simak dalam karya sastra "cerita seribu satu malam" di masa kejayaan kekhalifahan Abbasiyah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami perkembangan yang tidak terbatas hanya pada praktek hidup bersahaja saja, tapi mulai ditandai juga dengan berkembangnya suatu cara penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut ilmu Tasawuf.
Pada tingkat perkembangan inilah muncul beberapa terma yang dulunya tidak lazim dipakai dalam ilmu-ilmu keislaman. Upaya penalaran para ulama muhaddits dan fuqaha dalam menjabarkan prinsip-prinsip ajaran Islam mengenai penataan kehidupan pribadi dan masyarakat yang sudah berkembang selama tiga abad—dengan munculnya disiplin ilmu Tasawuf—terjadilah pemisahan antara dua pola penalaran, yaitu produk penalaran ulama muhaddits dan fuqaha yang disebut syari'ah, dan produk penalaran ulama tasawuf yang disebut haqiqah. Selanjutnya para fuqaha pun disebut ahli syari'ah dan para ulama tasawuf disebut ahli haqiqah.
Pada tahap perkembangannya, secara berangsur-angsur pola pikir dan pola hubungan antara ahli syari'ah dan ahli haqiqah makin berbeda. Dan ini menimbulkan banyak pertentangan antara kedua kelompok tersebut. Perbedaan tersebut ditandai dengan beberapa hal berikut:
1. Ahli syari'ah menonjolkan—kadang-kadang secara berlebih-lebihan—soal pengalaman agama dalam bentuk yang formalistik (syi'ar-syi'ar lahiriah). Sedang dilain pihak, para ahli haqiqah menonjolkan aspek-aspek batiniah ajaran Islam.
2. Adanya teori-teori ahli haqiqah yang menggusarkan para ahli syari'ah, misalnya teori al-fana fi 'l-Lah (peleburan diri dalam Allah) yang dikemukakan Abu Yazid al-Busthami dan teori Hub Allah (cinta Allah) hasil pemikiran Rabi'ah Al-'Adawiyah serta teori Maqamat-Ahwal (terminal-terminal dan situasi-situasi) ciptaan Dzunnun Al-Mishri. Semua itu dianggap sebagai ajaran aneh oleh para ahli syari'ah.
3. Sebagian ahli haqigah tidak merasa terikat dengan syi'ar-syi'ar agama yang ritual-formalistis. Mereka berkata, kalau seseorang sudah mencapai derajat wali, dia sudah bebas dari ikatan-ikatan formal. Padahal, para pendahulu mereka sangat disiplin dalam pengalaman syari'ah.
4. Ahli haqiqah mengklaim, siapa yang telah sampai perjalanan rohaniahnya kepada Allah dan sudah terlebur dirinya dalam diri Allah, maka dia akan mampu menaklukkan alam dan melakukan hal-hal yang luar biasa (keramat).
Jurang pemisah yang makin hari makin melebar antara ahli syari'ah dan ahli haqiqah makin menjadi-jadi pada sekitar akhir abad kelima Hijriyah, dan Imam Ghazali berupaya memulihkannya. Dalam kaitan inilah beliau tampil dengan karya besarnya Ihya 'Ulum Al-Din. Dalam buku ini beliau mempertemukan teori-teori syari'ah dengan teori-teori haqiqah. Ternyata upaya al-Ghazali ini sangat membantu dalam merukunkan kembali antara para ahli syari'ah dengan ahli haqiqah.
Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat lembaga keagamaan non-formal yang namanya "tarekat" asal kata thariqah. Di Jawa Timur misalnya, kita jumpai Tarekat Qadiriyah yang cukup dikenal, disamping Tarekat Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Tijaniyah dan Sanusiyah. Dalam satu dasawarsa terakhir ini, kita melihat adanya langkah lebih maju dalam perkembangan tarekat-tarekat tersebut dengan adanya koordinasi antara berbagai macam tarekat itu lewat ikatan yang dikenal dengan nama Jam'iyah Ahl al-Thariqah al-Mu'tabarah. Pada tahun lima puluhan, pemerintah Mesir menempatkan pembinaan dan koordinasi tarekat-terekat tersebut di bawah Departemen Bimbingan Nasional (Wizarah al-Irsyad al-Qaumi). Pertimbangannya ialah, bagaimanapun keberadaan penganut-penganut tarekat itu merupakan bagian dari potensi bangsa/umat, yang berhak mendapatkan perlindungan dalam rangka tertib kemasyarakatan suatu negara.
Untuk lebih mengenal adanya tarekat itu, ada baiknya kita mempertanyakan kapankah munculnya tarekat (al-thuruq al-shufiyah) itu dalam sejarah perkembangan gerakan tasawuf Dr. Kamil Musthafa al-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan tasawuf dan gerakan syi'ah mengungkapkan, tokoh pertama yang memperkenalkan sistem thariqah (tarekat) itu Syekh Abdul Qadir al-Jailani (w. 561 H/1166 M) di Baghdad. Ajaran tarekatnya menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, yang mendapat sambutan luas di Aljazair, Ghinia dan Jawa. Sedangkan di Mesir, tarekat yang banyak pengikutnya Tarekat Rifa'iyyah yang dibangun Sayid Ahmad al-Rifa'i. Dan tempat ketiga diduduki tarekat ulama penyair kenamaan Parsi, Jalal al-Din al-Rumi (w. 672 H/1273 M). Beliau membuat tradisi baru dengan menggunakan alat-alat musik sebagai sarana dzikir. Kemudian sistem ini berkembang terus dan meluas.
Dalam periode berikutnya muncul tarekat al-Syadziliyah yang mendapat sambutan luas di Maroko dan Tunisia khususnya, dan dunia Islam bagian Timur pada umumnya.
Yang juga perlu dicatat di sini ialah munculnya Tarekat Sanusiyah yang mempunyai disiplin tinggi mirip disiplin militer. Di bawah syeikhnya yang terakhir, Sayyid Ahmad al-Syarif al-Sanusi berhasil menggalang satu kekuatan perlawanan rakyat yang mampu memerangi kolonialis Italia, Perancis dan Inggris secara berturut-turut, dan akhirnya membebaskan wilayah Libya. Mungkin sifat keras dari iklim yang dibentuk Tarekat Sanusiyah inilah yang mewarnai Mu'ammar al-Qadafi mengambil alih kekuasaan dan berkuasa sampai saat ini sebagai Kepala Negara tersebut.
Nicholson mengungkapkan hasil penelitiannya, bahwa sistem hidup bersih dan bersahaja (zuhd) adalah dasar semua tarekat yang berbeda-beda itu. Semua pengikutnya dididik dalam disiplin itu, dan pada umumnya tarekat-tarekat tersebut walaupun beragam namanya dan metodenya, tapi ada beberapa ciri yang menyamakan:
1. Ada upacara khusus ketika seseorang diterima menjadi penganut (murid). Adakalanya sebelum yang bersangkutan diterima menjadi penganut, dia harus terlebih dahulu menjalani masa persiapan yang berat.
2. Memakai pakaian khusus (sedikitnya ada tanda pengenal)
3. Menjalani riyadlah (latihan dasar) berkhalwat. Menyepi dan berkonsentrasi dengan shalat dan puasa selama beberapa hari (kadang-kadang sampai 40 hari).
4. Menekuni pembacaan dzikir tertentu (awrad) dalam waktu-waktu tertentu setiap hari, ada kalanya dengan alat-alat bantu seperti musik dan gerak badan yang dapat membina konsentrasi ingatan.
5. Mempercayai adanya kekuatan gaib/tenaga dalam pada mereka yang sudah terlatih, sehingga dapat berbuat hal-hal yang berlaku di luar kebiasaan.
6. Penghormatan dan penyerahan total kepada Syeikh atau pembantunya yang tidak bisa dibantah.
Dari sistem dan metode tersebut Nicholson menyimpulkan, bahwa tarekat-tarekat sufi merupakan bentuk kelembagaan yang terorganisasi untuk membina suatu pendidikan moral dan solidaritas sosial. Sasaran akhir dari pembinaan pribadi dalam pola hidup bertasawuf adalah hidup bersih, bersahaja, tekun beribadah kepada Allah, membimbing masyarakat ke arah yang diridlai Allah, dengan jalan pengamalan syari'ah dan penghayatan haqiqah dalam sistem/metode thariqah untuk mencapai ma'rifah.
Apa yang dimaksud dengan kata ma'rifah dalam terma mereka ialah penghayatan puncak pengenalan keesaan Allah dalam wujud semesta dan wujud dirinya sendiri. Pada titik pengenalan ini akan terpadu makna tawakkal dalam tawhid, yang melahirkan sikap pasrah total kepada Allah, dan melepaskan dirinya dari ketergantungan mutlak kepada sesuatu selain Allah.
Langganan:
Postingan (Atom)