Jumat, 25 November 2011

Menyorong Rembulan Dan Matahari Berkabut


MENYORONG REMBULAN DAN MATAHARI BERKABUT

Oleh : Emha Ainun Najib


Bisakah luka yang teramat dalam ini nanti akan sembuh?
Bisakah kekecewaan bahkan keputusasaan yang mengiris-iris hati berpuluh-puluh juta saudara kita ini pada akhirnya nanti akan kikis?
Adakah kemungkinan kita akan bisa merangkak naik ke bumi dari jurang yang teramat curam dan dalam?
Akankah api akan berkobar-kobar lagi?
Apakah asap akan membumbung lagi dan memenuhi angkasa tanah air?
Akankah kita semua akan bertabrakan lagi satu sama lain?
Jarah menjarah satu sama lain dengan pengorbanan yang tidak akan terkirakan?
Adakah kemungkinan kita tahu apa yang sebenarnya sedang kita jalani?
Bersediakah kita sebenarnya untuk tahu persis apa yang sesungguhnya yang kita cari?
Cakrawala yang manakah yang menjadi tujuan sebenarnya dari langkah-langkah kita?
Pernahkah kita bertanya bagaimana cara melangkah yang benar?
Pernahkah kita mencoba menyesali?
Hal-hal yang barang kali perlu disesali dari perilaku-perilaku kita yang kemarin?
Bisakah kita menumbuhkan kerendah hatian di balik kebanggaan-kebanggaan?
Masih tersediakah ruang di dalam dada kita dan akal kepala kita untuk berkata pada diri
kita sendiri bahwa yang bersalah bukan hanya mereka?
Bahwa yang melakukan dosa bukan hanya ia tetapi juga kita.
Masih tersediakah peluang di dalam kerendahan hati kita untuk mencari apapun saja yang kira-kira kita perlukan meskipun barang kali menyakitkan diri kita sendiri?
Mencari hal-hal yang kita benar-benar butuhkan agar supaya sakit (3x) kita ini benar-benar sembuh total.
Sekurang-kurangnya dengan perasaan santai kepada diri sendiri untuk menyadari dengan sportif bahwa yang mesti disembuhkan itu nomer satu bukan yang diluar diri kita tetapi di dalam diri kita.
Yang kita perlu utama lakukan adalah penyembuhan diri, yang kita yakini bahwa harus betul – betul disembuhkan itu justru adalah segala sesuatu yang berlaku dalam hati dan akal fikiran kita..

Saya ingin mengajak engkau semua untuk memasuki dalam dunia ilir-ilir

Lir ilir lir ilir tandure wus sumilir, tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar :

Kanjeng Sunan Ampel seakan-akan baru hari ini bertutur pada kita tentang kita. Tentang segala sesuatu yang kita mengalaminya sendiri namun tak kunjung kita sanggup untuk mengerti. Sejak lima abad yang silam syair itu telah ia lantunkan dan tak ada jaminan kita telah paham. Padahal kata-kata beliau itu mengeja kehidupan kita sendiri alfa, beta, alif, ba', tha' kebingungan sejarah kita dari hari ke hari. Sejarah tentang sebuah negeri yang puncak kerusakannya terletak pada ketidak sanggupan para penghuninya untuk megakui betapa kerusakan itu sudah tidak terperi.

Menggeliatlah dari matimu tutur sang sunan, siumanlah dari pingsan berpuluh-puluh tahun, bangkitlah dari nyenyak tidur panjangmu sungguh negeri ini adalah penggalan sorga. Sorga seakan-akan pernah bocor mencipratkan kekayaan dan keindahannya dan cipratan keindahannya itu bernama Indonesia raya. Kau bisa tanam benih kesejahteraan apa saja diatas kesuburan tanahnya yang tidak terkirakan. Tidak mungkin kau temukan makhluk tuhanmu kelaparan di tengah hijau bumi kepulaan yang bergandeng-gandeng mesra ini. Bahkan bisa engkau selenggarakan dan rayakan pengantin-pengantin pembangunan lebih dari yang bisa dicapai negeri-negri lain yang manapun. Tapi kita memang telah tidak mensyukuri rahmat sepenggal surga ini kita telah memboroskan anugerah tuhan ini melalui cocok tanam ketidak adilan dan panen-panen kerakusan

Cah angon - cah angon penekno blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekno kanggo mbasoh dodot-iro :

Kanjeng sunan tidak memilih figur misalnya pak jendral, juga bukan intelektual-intelektual, ulama-ulama, sastrawan-sastrawan atau senian-seniman atau apapun tapi cah angon (2x). Beliau juga menuturkan penekno blimbing kuwih, bukan penekno pelem kuwih, bukan penekno sawuh kuwih, juga bukan buah yang lain tetapi blimbing bergigir lima terserah apa tafsirmu mengenai lima yang jelas harus ada yang memanjat pohon yang licin itu lunyu-lunyu penekno agar belimbing bisa kita capai bersama-sama. Dan yang harus memanjat adalah bocah angon anak gembala, tentu saja boleh siapa saja, ia boleh seorang doktor, boleh seorang seniman, boleh seorang kyai, boleh seorang jenderal atau siapapun. Tapi dia harus mempunyai daya angon, daya untuk menggembalakan, kesanggupan untuk ngemong siapa pun, karakter untuk merangkul dan memesrai siapa saja sesama saudara sebangsa. Determinasi yang menciptakan garis resultan kedamaian bersama, pemancar kasih sayang dibutuhkan dan diterima semua warna, semua golongan dan semua kecenderungan. Bocah angon adalah seorang pemimpin nasional bukan tokoh golongan atau pemuka suatu gerombolan. Selicin apapun pohon-pohon tinggi reformasi ini sang bocah angon harus memanjatnya harus dipanjat sampai selamat memperoleh buahnya bukan ditebang, dirobohkan atau diperebutkan dan air sari pati belimbing lima gigir itu diperlukan bangsa ini untuk mencuci pakaian nasionalnya. Pakaian adalah akhlak, pakaian adalah sesuatu yang menjadikan manusia bukan binatang. Kalau engkau tidak percaya berdirilah di depan pasar dan copotlah pakaianmu maka engkau kehilangan segala macam harkatmu sebagai manusia. Pakaianlah yang membuat manusia bernama manusia. Pakaian adalah pegangan nilai, landasan moral dan sistem nilai. Sistem nilai itulah yang harus kita cuci dengan pedoman lima

Dodoth-iro dodoth-iro kumitir bedah ing pinggir, dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padang rembulane mumpung jembar kalangane yo surako - surak iyooo

Pakaian kebangsaan kita, harga diri nasionalime kita, telah sobek-sobek oleh tradisi penindasan, oleh tradisi kebodohan, oleh tradisi keserakahan yang tidak habis-habis. Dondomono, jlumatono kanggo sebo mengko sore, harus kita jahit kembali, harus kita benahi lagi, harus kita utuhkan kembali agar supaya kita siap untuk menghadap ke masa depan. Memang kita sudah lir-ilir, sudah ngelilir sudah terbangun dari tidur, sudah bangun, sudah bangkit sesudah tidur terlalu nyenyak selama 30 tahun atau bahkan mungkin lebih lama dari itu. Kita memang sudah bangkit beribu-ribu kaum muda berjuta-juta rakyat sudah bangkit keluar rumah dan memenuhi jalanan, membanjiri sejarah dengan semangat menyeruak kemerdekaan yang telalu lama diidamkan. Akan tetapi mungkin karena terlalu lama kita tidak merdeka sekarang kita tidak begitu mengerti bagaimana mengerjakan kemerdekaan sehingga tidak begitu paham beda antara demokasi dan anarki. Terlalu lama kita tidak boleh berfikir lantas sekarang hasil fikiran kita keliru-keliru sehingga tak sanggup membedakan mana asap mana api, mana emas mana loyang mana nasi dan mana tinja. Terlalu lama kita hidup dalam ketidak menentuan nilai lantas menjadi semakin kabur pandangan kita akan nilai-nilai yang berlaku dalam diri kita sendiri sehingga yang kita jadikan pedoman kebenaran hanyalah kemauan kita sendiri, nafsu kita sendiri, kepentingan kita sendiri. Terlalu lama kita hidup dalam kegelapan sehingga kita tidak mengerti melayani cahaya sehingga kita tidak becus mengurusi bagaimana cahaya terang sehingga dalam kegelapan gerhana rembulan yang membikin kita buntu sekarang kita junjung-junjung pengkhianat dan kita buang para pahlawan. Kita bela kelicikan dan kita curigai ketulusan.

Gerhana rembulan hampir total, malam gelap gulita. Matahari berada satu garis dengan bumi dan rembulan. Cahaya matahari yang memancar ke rembulan tidak sampai karena ditutupi oleh bumi sehingga bulan tidak bisa memantulkan cahaya matahari ke permukaan bumi. Matahari adalah lambang Tuhan, cahaya matahari adalah rahmat nilai kepada bumi yang semestinya dipantulkan oleh rembulan. Rembulan adalah para keasih Allah, para nabi, para rasul, para ulama, para cerdik-cendikia, para pujangga dan siapapun saja yang memantulan cahaya matahari atau nilai-nilai Allah untuk mendayagunakannya di bumi. Karena bumi menutupi cahaya matahari maka malam gelap gulita dan di dalam kegelapan segala yang buruk terjadi. Orang tidak bisa menatap wajah orang lainnya secara jelas. Orang menyangka kepala adalah kaki, orang menyangka utara adalah selatan. Orang bertabrakan satu sama lain. Orang tidak sengaja menjegal satu sama lain atau bahkan sengaja saling menjegal satu sama lain. Di dalam kegelapan orang tidak punya pedoman yang jelas untuk melangkah akan kemana melangkah dan bagaimana melangkah.

Ilir-ilir, kita memang sudah ngelilir, sudah bangkit, sudah bangun bahkan kaki kita sudah berlari kesana kemari namun akal fikiran kita belum, hati nurani kita belum, kita masih merupakan anak dari orde-orde yang kita kutuk di mulut namun ajaran-ajarannya kita biarkan hidup di dalam darah dan jiwa kita. Kita mengutuk perampok dengan cara mengincarnya untuk kita rampok balik, kita mencerca maling dengan penuh kedengkian kenapa bukan kita yang maling. Kita mencaci penguasa lalim dengan berusaha untuk menggantikannya. Kita membenci para pembuat dosa besar dengan cara syetan yakni dengan cara melarangnya untuk insyaf dan bertobat. Kita memperjuangkan gerakan anti penggusuran dengan cara meggusur. Kita menolak pemusnahan dengan cara merancang pemusnahan-pemusnahan. Kita menghujat para penindas dengan riang gembira sebagaimana cara iblis yakni kita halangi untuk memperbaiki diri. Siapakah selain iblis, syetan dan dajjal yang menolak khusnul khotimah manusia yang memblokade pintu surga, yang menyorong mereka ke pintu neraka. Sesudah ditindas kita menyiapkan diri untuk menindas. Sesudah diperbudak kita siaga untuk ganti memperbudak. Sesudah diancurkan kita susun barisan untuk menghancurkan.

Yang kita bangkitkan bukan pembaharuan-kebersamaan melainkan asyiknya perpecahan. Yang kita bangun bukan nikmatnya kemesraan tapi menggelegaknya kecurigaan. Yang kita rintis bukan cinta dan ketulusan melainkan parasangka dan fitnah. Yang kita perbaharui bukan penyembuhan luka melainkan rencana-rencana panjang untuk menyelenggarakan perang saudara. Yang kita kembang suburkan adalah kebiasaan untuk memakan bangkai saudara-saudara kita sendiri. Kita tidak memperluas cakrawala dengan menabur cinta melainkan mempersempit dunia kita sendiri dengan lubang-lubang kebencian dan iri hati. Pilihanku dan pilihanmu adalah apakah kita akan menjadi bumi yang akan mempergelap cahaya matahari sehingga bumi kita sendiri tidak akan mendapatkan cahayanya. Atau kita akan berfungsi menjadi rembulan, kita sorong diri kita bergeser ke alam yang lebih tepat agar kita bisa apatkan sinar matahari dan kita pantulkan nilai-nilai Tuhan itukembali ke bumi.

Satu tembang tidak selesai ditafsirkan dengan 1000 jilid buku. Satu lantunan syair tidak selesai ditafsirkan dengan 1000 bulan dan seribu orang melakukannya. Aku ingin mengajakmu untuk berkeliling utuk memandang warna-warni yang bermacam-macam dengan membiarkan mereka dengan warnanya masing-masing. Agar kita mengerti dengan hati dan ketulusan kita, apa muatan kalbu mereka mengenai lir-ilir, mengenai ijo royo-royo, mengenai tementen anyar, mengenai bocah angon dan belimbing, mengenai mbasuh dodotiro dan mengenai gumitir bedah ing pinggir.

Yang akan kita bicarakan tentu saja kapan saja bersama-sama.tapi aku ingin mengajakmu untuk mendengarkan siapa saja diantara sauara-saudara kita tanpa perlu kita larang-larang untuk menjadi ini-untuk menjadi itu. Asalkan kita bersepakat bahwa bersama-sama mereka semua kita akan menyumbangkan yang terbaik untuk semuanya bukan hanya bagi ini-bagi itu bukan hanya bagi yang disini atau yang disana..

Lir ilir tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh temanten anyar
Bocah angon bocah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodot-iro
Dodot-iro dodot-iro lumintir bedah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung jembar kalangane
Mumpung padang rembulane
Yo surako
Surak: iyooo!

Kemana Anak-anak Itu


KEMANA ANAK-ANAK ITU

Oleh : Emha Ainun Najib

Kemana anak – anak kita itu
Anak – anak yang dilahirkan oleh seluruh bangsa ini
dengan keringat, luka, darah dan kematian
Anak – anak yang dilahirkan oleh sejarah
dengan air mata tiga setengah abad
Kemana anak – anak itu
Siapa yang menyembunyikan mereka
Siapa yang menculik mereka
Siapa yang meracuni dan membuang mereka
Anak – anak yang bernama kemerdekaan
Anak – anak yang bernama hak makhluk
dan harkat kemanusiaan
Anak – anak yang bernama cinta kasih sesama
Anak – anak yang bernama indahnya kesejahteraan
Anak – anak yang bernama keterbukaan dan kelapangan
Anak – anak itu tunggang langgang
Anak – anak itu diserbu oleh rasa takut yang mencekam
Anak – anak itu bertiarap ke bawah semak – semak zaman
Anak – anak itu ngumpet dibalik kegelapan
Kematian bukanlah tragedi
kecuali jika kita curi dari Tuhan
hak untuk menentukannya
Nyawa badan
Nyawa rohani
Nyawa kesadaran
Nyawa hak untuk tenteram
Nyawa kewajiban untuk berbagi kesejahteraan
Nyawa amanat untuk merawat keadilan
Dihembuskan oleh Tuhan
dielus – elus dan Ia sayang – sayang
Bahkan nyawa setiap ekor coro
Bahkan nyawa cacing yang menggeliat – geliat
Ia jaga dalam tata kosmos keseimbangan-Nya
Tuhan sangat bersungguh – sungguh dalam mengurusi
setiap tetes embun yang Ia tampung di sehelai daun
Tuhan menyayangi dengan separuh hati-Nya
setiap titik debu yang menempati persemayaman-Nya
Tapi kita iseng
Kita tidak serius terhadap nilai
Terhadap Allahpun kita bersikap setengah hati

Jalan Sunyi



JALAN SUNYI

 

Oleh : Emha Ainun Najib


Akhirnya kutempuh jalan yang sunyi
Mendengarkan lagu bisu sendiri di lubuk hati
Puisi yang kusembunyikan dari kata - kata
Cinta yang tak kan kutemukan bentuknya

Apabila kau dengar tangis di saat lengang
Kalau bulan senyap dan langit meremang
Sesekali temuilah detak - detik pelaminan ruh sepi hidupku
Agar terjadi saat saling mengusap peluh dendam rindu

Kuanyam dari dan malam dalam nyanyian
Kerajut waktu dengan darah berlarut - larut
Tak habis menimpukku batu demi batu kepalsuan
Demi mengongkosi penantian ke Larut






Seribu Masjid Satu Jumlahnya

SERIBU MASJID SATU JUMLAHNYA
 
Oleh : Emha Ainun Najib
 
Satu
Masjid itu dua macamnya
Satu ruh, lainnya badan
Satu di atas tanah berdiri
Lainnya bersemayam di hati
Tak boleh hilang salah satunyaa
Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu
Dua
Masjid selalu dua macamnya
Satu terbuat dari bata dan logam
Lainnya tak terperi
Karena sejati
Tiga
Masjid batu bata
Berdiri di mana-mana
Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
Timbul tenggelam antara ada dan tiada
Mungkin di hati kita
Di dalam jiwa, di pusat sukma
Membisikkannama Allah ta'ala
Kita diajari mengenali-Nya
Di dalam masjid batu bata
Kita melangkah, kemudian bersujud
Perlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwa
Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna
Empat
Sangat mahal biaya masjid badan
Padahal temboknya berlumut karena hujan
Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban
Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita zikirkan
Masjid badan gmpang binasa
Matahari mengelupas warnanya
Ketika datang badai, beterbangan gentingnya
Oleh gempa ambruk dindingnya
Masjid ruh mengabadi
Pisau tak sanggup menikamnya
Senapan tak bisa membidiknya
Politik tak mampu memenjarakannya
Lima
Masjid ruh kita baw ke mana-mana
Ke sekolah, kantor, pasar dan tamasya
Kita bawa naik sepeda, berjejal di bis kota
Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya
Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya
Sedang masjid ruh di dada adalah cakrawala
Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya
Sebab majid ruh adalah semesta raya
Jika kita berumah di masjid ruh
Tak kuasa para musuh melihat kita
Jika kita terjun memasuki genggaman-Nya
Mereka menembak hanya bayangan kita
Enam
Masjid itu dua macamnya
Masjid badan berdiri kaku
Tak bisa digenggam
Tak mungkin kita bawa masuk kuburan
Adapun justru masjid ruh yang mengangkat kita
Melampaui ujung waktu nun di sana
Terbang melintasi seribu alam seribu semesta
Hinggap di keharibaan cinta-Nya
Tujuh
Masjid itu dua macamnya
Orang yang hanya punya masjid pertama
Segera mati sebelum membusuk dagingnya
Karena kiblatnya hanya batu berhala
Tetapi mereka yang sombong dengan masjid kedua
Berkeliaran sebagai ruh gentayangan
Tidak memiliki tanah pijakan
Sehingga kakinya gagal berjalan
Maka hanya bagi orang yang waspada
Dua masjid menjadi satu jumlahnya
Syariat dan hakikat
Menyatu dalam tarikat ke makrifat
Delapan
Bahkan seribu masjid, sjuta masjid
Niscaya hanya satu belaka jumlahnya
Sebab tujuh samudera gerakan sejarah
Bergetar dalam satu ukhuwah islamiyah
Sesekali kita pertengkarkan soal bid'ah
Atau jumlah rakaat sebuah shalat sunnah
Itu sekedar pertengkaran suami istri
Untuk memperoleh kemesraan kembali
Para pemimpin saling bercuriga
Kelompok satu mengafirkan lainnya
Itu namanya belajar mendewasakan khilafah
Sambil menggali penemuan model imamah
Sembilan
Seribu masjid dibangun
Seribu lainnya didirikan
Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun
Tagihan masa depan kita cicilkan
Seribu orang mendirikan satu masjid badan
Ketika peradaban menyerah kepada kebuntuan
Hadir engkau semua menyodorkan kawruh
Seribu masjid tumbuh dalam sejarah
Bergetar menyatu sejumlah Allah
Digenggamnya dunia tidak dengan kekuasaan
Melainkan dengan hikmah kepemimpinan
Allah itu mustahil kalah
Sebab kehidupan senantiasa lapar nubuwwah
Kepada berjuta Abu Jahl yang menghadang langkah
Muadzin kita selalu mengumandangkan Hayya 'Alal Falah!

Kudekap Kusayang-sayang

KUDEKAP KUSAYANG-SAYANG
 
Oleh : Emha Ainun Naijb
 
Kepadamu kekasih kupersembahkan segala api keperihan
di dadaku ini demi cintaku kepada semua manusia
Kupersembahkan kepadamu sirnanya seluruh kepentingan
diri dalam hidup demi mempertahankan kemesraan rahasia,
yang teramat menyakitkan ini, denganmu
Terima kasih engkau telah pilihkan bagiku rumah
persemayaman dalam jiwa remuk redam hamba-hambamu
Kudekap mereka, kupanggul, kusayang-sayang, dan ketika
mereka tancapkan pisau ke dadaku, mengucur darah dari
mereka sendiri, sehingga bersegera aku mengusapnya,
kusumpal, kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku
Kemudian kudekap ia, kupanggul, kusayang-sayang,
kupeluk,
kugendong-gendong, sampai kemudian mereka tancapkan
lagi pisau ke punggungku, sehingga mengucur lagi darah
batinnya, sehingga aku bersegera mengusapnya,
kusumpal,
kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku, kudekap,
kusayang-sayang.

Dari Bentanagn Langit

DARI BENTANGAN LANGIT
 
Oleh : Emha Ainun Najib
 
Dari bentangan langit yang semu
Ia, kemarau itu, datang kepadamu
Tumbuh perlahan. Berhembus amat panjang
Menyapu lautan. Mengekal tanah berbongkahan
menyapu hutan !
Mengekal tanah berbongkahan !
datang kepadamu, Ia, kemarau itu
dari Tuhan, yang senantia diam
dari tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa
yang senyap. Yang tak menoleh barang sekejap.

Antara 3 Kota

ANTARA TIGA KOTA
 
Oleh : Emha Ainun Najib
 
di yogya aku lelap tertidur
angin di sisiku mendengkur
seluruh kota pun bagai dalam kubur
pohon-pohon semua mengantuk
di sini kamu harus belajar berlatih
tetap hidup sambil mengantuk
kemanakah harus kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?
Jakrta menghardik nasibku
melecut menghantam pundakku
tiada ruang bagi diamku
matahari memelototiku
bising suaranya mencampakkanku
jatuh bergelut debu
kemanakah harus juhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga
surabaya seperti ditengahnya
tak tidur seperti kerbau tua
tak juga membelalakkan mata
tetapi di sana ada kasihku
yang hilang kembangnya
jika aku mendekatinya
kemanakah haru kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?

Ditanyakan Kepadanya

DITANYAKAN KEPADANYA
 
Oleh : Emha Ainun Najib
 
Ditanyakan kepadanya siapakah pencuri
Jawabnya: ialah pisang yang berbuah mangga
Tak demikian Allah menata
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapakah penumpuk harta
Jawabnya: ialah matahari yang tak bercahaya
Tak demikian sunnatullah berkata
Maka cerdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapakah pemalas
Jawabnya: bumi yang memperlambat waktu edarnya
Menjadi kacaulah sistem alam semesta
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya sapakah penindas
Jawabnya: ialah gunung berapi masuk kota
Dilanggarnya tradisi alam dan manusia
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapa pemanja kebebasan
Ialah burung terbang tinggi menuju matahari
Burung Allah tak sedia bunuh diri
Maka berdusta ia
Ditanyakn kepadanya siapa orang lalai
Ialah siang yang tak bergilir ke malam hari
Sedangkan Allah sedemikian rupa mengelola
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapa orang ingkar
Ialah air yang mengalir ke angkasa
Padahal telah ditetapkan hukum alam benda
Maka berdusta ia
Kemudian siapakah penguasa yang tak memimpin
Ialah benalu raksasa yang memenuhi ladang
Orang wajib menebangnya
Agar tak berdusta ia
Kemudian siapakah orang lemah perjuangan
Ialah api yang tak membakar keringnya dedaunan
Orang harus menggertak jiwanya
Agar tak berdusta ia
Kemudian siapakah pedagang penyihir
Ialah kijang kencana berlari di atas air
Orang harus meninggalkannya
Agar tak berdusta ia
Adapun siapakah budak kepentingan pribadi
Ialah babi yang meminum air kencingnya sendiri
Orang harus melemparkan batu ke tengkuknya
Agar tak berdusta ia
Dan akhirnya siapakah orang tak paham cinta
Ialah burung yang tertidur di kubangan kerbau
Nyanyikan puisi di telinganya
Agar tak berdusta ia

Ketika Engkau Bersembayang

KETIKA ENGKAU BERSEMBAHYANG
 
Oleh : Emha Ainun Najib
 
Ketika engkau bersembahyang
Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
Partikel udara dan ruang hampa bergetar
Bersama-sama mengucapkan allahu akbar
Bacaan Al-Fatihah dan surah
Membuat kegelapan terbuka matanya
Setiap doa dan pernyataan pasrah
Membentangkan jembatan cahaya
Tegak tubuh alifmu mengakar ke pusat bumi
Ruku' lam badanmu memandangi asal-usul diri
Kemudian mim sujudmu menangis
Di dalam cinta Allah hati gerimis
Sujud adalah satu-satunya hakekat hidup
Karena perjalanan hanya untuk tua dan redup
Ilmu dan peradaban takkan sampai
Kepada asal mula setiap jiwa kembali
Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri
Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
Badan di peras jiwa dipompa tak terkira-kira
Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya
Sembahyang di atas sajadah cahaya
Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
Rumah yang tak ada ruang tak ada waktunya
Yang tak bisa dikisahkan kepada siapapun
Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah
Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
Hatimu sabar mulia, kaki seteguh batu karang
Dadamu mencakrawala, seluas 'arasy sembilan puluh sembilan

Kita Memasuki Pasar Riba

KITA MASUKI PASAR RIBA
 
Oleh : Emha Ainun Najib
 
Kita pasar r iba
Medan perang keserakahan
Seperti ikan dalam air tenggelam
Tak bisa ambil jarak
Tak tahu langit
Ke kiri dosa ke kanan dusta
Bernapas air
Makan minum air
Darah riba mengalir
Kita masuki pasar riba
Menjual diri dan Tuhan
Untuk membeli hidup yang picisan
Telanjur jadi uang recehan
Dari putaran riba politik dan ekonomi
Sistem yang membunuh sebelum mati
Siapakah kita ?
Wajah tak menentu jenisnya
Tiap saat berganti nama
Tegantung kepentingannya apa
Tergantung rugi atu laba
Kita pilih kepada siapa tertawa

Memecah Mengutuhkan

MEMECAH MENGUTUHKAN
 
Oleh : Emha Ainun Najib
 
Kerja dan fungsi memecah manusia
Sujud sembahyang mengutuhkannya
Ego dan nafsu menumpas kehidupan
Oleh cinta nyawa dikembalikan
Lengan tanganmu tanggal sebelah
Karena siang hari politik yang gerah
Deru mesin ekonomi membekukan tubuhmu
Cambuk impian membuat jiwamu jadi hantu
Suami dan istri tak saling mengabdi
Tak mengalahkan atau memenangi
Keduanya adalah sahabat bergandengan tangan
Bersama-sama mengarungi jejeak Tuhan
Kalau berpcu mempersaingkan hari esok
Jangan lupakan cinta di kandungan cakrawala
Kalau cemas karena diiming-imingi tetangga
Berkacalah pada sunyi di gua garba rahasia

Sepenggal Puisi Cak Nun

SEPENGGAL PUISI CAK NUN
 
Oleh : Emha Ainun Najib
sayang sayang kita tak tau kemana pergi
tak sanggup kita dengarkan suara yang sejati
langkah kita mengabdi pada kepentingan nafsu sendiri
yang bisa kita pandang hanya kepentingan sendiri
loyang disangka emas emasnya di buang buang
kita makin buta yang mana utara yang mana selatan
yang kecil dibesarkan yang besar di remehkan
yang penting disepelekan yang sepele diutamakan
Allah Allah betapa busuk hidup kami
dan masih akan membusuk lagi
betapa gelap hari di depan kami
mohon ayomilah kami yang kecil ini

Begitu Engkau Bersujud

BEGITU ENGKAU BERSUJUD
 
Oleh : Emha Ainun Najib
Begitu engakau bersujud, terbangunlah ruang
yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid
Setiap kali engkau bersujud, setiap kali
pula telah engkau dirikan masjid
Wahai, betapa menakjubkan, berapa ribu masjid
telah kau bengun selama hidupmu?
Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu
meninggi, menembus langit, memasuki
alam makrifat
Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah, seketika
bernama masjid, begitu engkau tempati untuk bersujud
Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada
ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan
Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan
ke piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang
Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk
cinta kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara
adzan
Kalau engkau bawa badanmu bersujud, engkaulah masjid
Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang
Allah, engkaulah kiblat
Kalau engkau pandang telingamu mendengar yang
didengar Allah, engkaulah tilawah suci
Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai
Allah, engkaulah ayatullah
Ilmu pengetahuan bersujud, pekerjaanmu bersujud,
karirmu bersujud, rumah tanggamu bersujud, sepi
dan ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud
menjadilah engkau masjid

Ikrar

IKRAR
 
Oleh : Emha Ainun Najib
 
Di dalam sinar-Mu
Segala soal dan wajah dunia
Tak menyebabkan apa-apa
Aku sendirilah yang menggerakkan laku
Atas nama-Mu
Kuambil siakp, total dan tuntas
maka getaranku
Adalah getaran-Mu
lenyap segala dimensi
baik dan buruk, kuat dan lemah
Keutuhan yang ada
Terpelihara dalam pasrah dan setia
Menangis dalam tertawa
Bersedih dalam gembira
Atau sebaliknya
tak ada kekaguman, kebanggaan, segala belenggu
Mulus dalam nilai satu
Kesadaran yang lebih tinggi
Mengatasi pikiran dan emosi
menetaplah, berbahagialah
Demi para tetangga
tetapi di dalam kamu kosong
Ialah wujud yang tak terucapkan, tak tertuliskan
Kugenggam kamu
Kau genggam aku
Jangan sentuh apapun
Yang menyebabkan noda
Untuk tidak melepaskan, menggenggam lainnya
Berangkat ulang jengkal pertama

Senin, 23 Mei 2011

Luasnya Ampunan Allah SWT



 Saat mata kubuka perlahan
Syukur aku masih diberi hidup
Ruang untuk bernafas
Di muka bumi-Mu Ya Allah
Lantas kutitipkan wudhu’
Melangkah sujud pada-Nya
Hanya kepada Engkaulah kami sembah
Dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan
Kuhadapkan wajah menuju kiblatku
Tangan kutadah menyeru namaMu

Ya Allah Ya Ghaffar
Ampunkanlah daku
Sesungguhnya hamba-Mu ini tidak pernah terlepas dari melakukan dosa
Sering lalai dan leka
Dengan muslihat duniawi yang tidak ke mana
Terasa air jernih menitis hiba
Mengenangkan kerdilnya diriku di sisi-Nya
Sesungguhnya
Dia yang Maha Rauf
Tiada walau sedetik melupai aku
Dia yang Maha Tawwab
Menerima taubat
Sekalian hamba-Nya
Sebelum Israfil meniup sangkakala
Hati ini… jiwa ini…
Masih lagi merintih
Lagaknya seperti bayi jerih bertatih
Resah nuraniku penuh persoalan
Yang aku sendiri tiada jawapan

Ya Dzul-Jalali
Apa aku bisa menjadi hamba-Mu
Yang lisannya setiap saat basah dengan zikrullah?
Apa aku bisa menjadi umat pesuruh-Mu
Yang senantiasa hidup dengan sunnah Muhammad Rasulullah?
Dan apakah aku bisa menjadi seorang Mukmin
Yang beramal dengan kitab-Mu seluruh hidupku?

Ya Allah
Ya Rahman Ya Rahim
Sesungguhnya aku tidak layak untuk syurga-Mu
Namun tidak pula sanggup ke neraka-Mu
Ampunkan dosaku
Terimalah taubatku
Sesungguhnya Engkaulah Pengampun dosa-dosa besar

Ya Allah Ya Rabbi
Pancarkanlah nur-Mu ke dalam hidupku
Biarkan Shalawatul iman itu meresapi kalbu
Kirimkanlah taufik dan hidayah-Mu untukku
Agar aku bisa berdiri teguh disirat-Mu

Sesungguhnya ibadatku, hidupku dan matiku
Hanya untuk-Mu Ya Allah
Di sini…
Di kiblat ini…
Aku coba untuk berubah…


Mari Maknai Hidup

Mari Maknai Hidup


Oleh: Muhammad Fatih

Hidup di dunia ini hanya sekali. Begitulah orang-orang sering bilang. Dunia, adalah tempat kita menyiapkan bekal untuk akhirat nanti. Tak bersiap-siap di dunia, maka ia akan rugi di akhirat. Ia takkan bisa kembali lagi ke dunia. Karena, walaupun ia berjanji tuk beramal sholeh di dunia, ia akan kembali terbuai dengan hawa nafsunya. Allah SWT berfirman, "...Seandainya mereka dikembalikan ke dunia, tentu mereka akan mengulang kembali apa yang telah dilarang mengerjakannya. Mereka itu sungguh pendusta." (QS. Al-An'aam: 28)

Hidup di dunia ini hanya sesaat. Layaknya pengembara yang beristirahat di bawah sebuah pohon. Lalu, dia akan melanjutkan perjalanannya yang jauh. Begitulah Rasulullah SAW mengibaratkan hidup ini. Tak lebih hanya seperti sebuah tempat peristirahatan.

Maka, manfaatkanlah waktu hidup kita yang sesaat ini, untuk menanam amal sholeh sebanyak-banyaknya. Agar kelak di akhirat nanti, kita bisa menuai hasil jerih payah kita itu. Isilah hidup ini dengan hal-hal yang bermanfaat.

Mungkin, terkadang kita merasa berat untuk menyusuri jalan kebenaran. Seperti mendaki tebing yang terjal. Namun, percayalah, setelah kita terbiasa untuk melakukan amal kebajikan, kita akan merasa bernafsu untuk terus menambah tabungan pahala kita. Berlari mendekat kepada Allah SWT. Tatkala kita sudah mereguk minuman cinta yang telah dihidangkan-Nya, kita akan semakin bernafsu lagi untuk mendekat dan terus mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Janganlah kita terbuai dengan tipuan-tipuan duniawi yang berserakan di muka bumi ini. Sadarlah bahwa kita tak memiliki banyak waktu untuk menjalani hidup di dunia ini. Apakah kita ingin melewati dunia ini dengan sia-sia? Tidak kan? Tentu kita ingin, dengan waktu yang diberikan Allah SWT, kita mampu meraih ridho dan surga-Nya. Bagaimana kita bisa meraih itu jika kita hanya berpangku tangan, bahkan melakukan banyak maksiat tanpa bertobat?

Raihlah cinta-Nya, niscaya kita akan mendapatkan ketenteraman dalam kehidupan. Betapa banyak orang kaya namun tidak tentram hidupnya. Itu karena mereka telah jatuh cinta kepada dunia. Sehingga ia mengisi waktunya hanya untuk menggapai dunia, bukan untuk meraih ridho-Nya. Semoga kita dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mencintai-Nya dan dicintai oleh-Nya. Wallahu a'lam bish-shawwaab.

Penulis adalah sahabat Republika Online

Minggu, 22 Mei 2011

Sikap Agung Rasulullah Menghadapi Pembenci Islam

Sikap Agung Rasulullah Menghadapi Pembenci Islam


Oleh: Abu Nizhan


Suatu hari Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah, ‘’Wahai Rasulullah, pernahkah engkau mengalami hari yang lebih buruk dari Perang Uhud?’’ Rasulullah menjawab, ‘’Suatu hari aku pernah menemui kaum yang sangat kejam yang belum pernah aku temui, yaitu hari di mana aku menemui kaum kampung aqobah (di Thaif), ketika aku ingin menemui (untuk meminta perlindungan, sekaligus menyebarkan islam) Ibnu Abi Yalil bin Abdi Kulal (salah satu pembesar di Thaif), tetapi dia tidak memenuhi keinginanku, lalu aku pulang dalam keadaan wajahku berdarah (karena perlakuan warganya yang melempaliranya dengan batu). Ketika aku berhenti di Qarnul Tsa’alib (Miqat Qarnul Manajil), aku melihat ke atas dan awan memayungiku sehingga aku merasa teduh. Lalu, aku melihat Jibril memanggilku, seraya berkata: ‘’Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan (hinaan) kaummu dan penolakan mereka kepadamu. Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung terhadapmu.’’

‘’Ya Muhammad,’’ sahut malaikat penjaga gunung. ‘’Jika engkau mau supaya aku melipatkan Akhsyabain (dua gunung di Makkahm, yaitu gunung Abi Qubaisy dan gunung yang menghadapnya) ini di atas mereka, niscaya akan aku lakukan.’’ Namun, Rasulullah SAW malah berdoa (tidak ada sedikit pun keinginan untuk membalasnya). Bahkan, aku berharap mudah-mudahan Allah mengeluarkan dari tulang rusuk mereka (keturunan) yang menyembah Allah yang Esa dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun (HR Bukhari Muslim).

Dari kisah di atas, banyak pelajar yang bisa kita renungkan. Pertama, ketika cacian dan perlakuan tidak manusiawi datang menghadapi Rasulullah, maka yang dikedepankan oleh beliau bukan dengan kembali mencaci, tapi dengan menunjukkan sikap baik.

Secara tidak langsung ini adalah dakwah terhadap mereka yang membenci Islam. Terbukti akhlak baik Rasulullah dan sahabatnya telah mengantarkan Islam bisa tersebar luas dengan waktu yang singkat. Dengan ini maka umat Islam dituntut lebih memperbaiki lagi akhlaknya sehingga yang membenci tahu akan keagungan umat Islam.

Kedua, umat Islam harus senantiasa introspeksi, apakah kita pernah menjelaskan tentang Islam kepada orang-orang yang menghina Islam? Karena boleh jadi mereka membenci Islam karena belum tahu tentang hakikat Islam.

Jika belum, maka kita harus memberikan penjelasan tentang Islam dengan berbagai pendekatan. Kalau Rasulullah dahulu suka memberikan surat-surat yang ditujukan kepada para raja, maka sekarang pun kita bisa berdakwah lewat buku, dengan menerjemahkan karya-karya Islam ke dalam bahasa yang dipakai Barat. Atau bisa dengan pendekatan seni dan budaya yang lebih bisa diterima oleh mereka.

Ketiga, mungkin ini yang luput dari kita selama ini, yaitu mendoakan mereka untuk mendapatkan pintu hidayah. Rasulullah SAW tahu bahwa berdakwah saja tidak cukup. Hidayah adalah urusan Allah maka jalan terbaik untuk memintanya adalah dengan doa. Wallahu a`lam bi as-showab


Penulis hikmah ini adalah penulis Buku Al-Quran Tematis (Mizan, 2011)

Syari'ah, Thariqah, Haqiqah dan Ma'rifah

Syari'ah, Thariqah, Haqiqah dan Ma'rifah


oleh KH Ali Yafie *

Kata syari'ah telah beredar luas di  kalangan  umat  muslim. Bahkan, dalam al-Qur'an sendiri, kata tersebut telah dipakai antara lain  pada  Surah  Al-Jatsiyah:  18.   Pemakaian  kata tersebut  mengacu  kepada  makna  ajaran dan norma agama itu sendiri.  Dalam  perkembangan  Islam  munculnya  tiga   kata thariqah,   haqiqah   dan   ma'rifah,   telah  mengakibatkan terbatasnya  pengertian  syari'ah  sehingga   lebih   banyak mengacu  pada  norma  hukum.  Sedangkan  tiga  kata  lainnya menjadi terma yang terkenal dalam tasawuf.  Karena  itu  ada baiknya  kita  lebih  dahulu  berbicara  tentang tasawuf itu sendiri.

Mengenai kelompok tasawuf ada dua pendapat. Pertama,  mereka adalah  kelompok  spiritual  dalam umat Islam yang berada di tengah-tengah dua kelompok  lainnya  yang  disebut  kelompok formal  dan  kelompok  Intelektual. Kelompok intelektual ini terdiri  dari   ulama-ulama   mutakallim   (ahli   teologi), sedangkan kelompok formal terdiri dari ulama-ulama muhaddits dan  fuqaha.  Kedua,  bahwa  tasawuf  itu hanyalah suatu kecenderungan  spiritual  yang membentuk  etika  moral  dan lingkungan sosial khusus. Sehingga seharusnya  kita  katakan seorang  muhaddttsin  sekaligus  juga  ulama sufiyah, begitu pula seorang mutakallimin sekaligus juga ulama sufiyah.

Ajaran  Tasawuf  pada   dasarnya   merupakan   bagian   dari prinsip-prinsip  Islam  sejak  awal.  Ajaran ini tak ubahnya merupakan upaya  mendidik  diri  dan  keluarga  untuk  hidup bersih dan sederhana, serta patuh melaksanakan ajaran-ajaran agama   dalam   kehidupannya   sehari-hari.   Ibnu   Khaldun mengungkapkan,   pola   dasar  tasawuf  adalah  kedisiplinan beribadah, konsentrasi  tujuan  hidup  menuju  Allah  (untuk mendapatkan  ridla-Nya),  dan  upaya  membebaskan  diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan  duniawi,  sehingga  tidak diperbudak   harta   atau  tahta,  atau  kesenangan  duniawi lainnya. Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi  pada kalangan   kaum   muslim  angkatan  pertama. Pada angkatan berikutnya (abad 2 H) dan seterusnya, secara berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan  duniawi  menjadi  lebih  berat. Ketika itulah angkatan  pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhananya lebih dikenal sebagai kaum sufiyah.

Keadaan  tersebut  berkelanjutan  hingga   mencapai   puncak perkembangannya  pada  akhir  abad 4 H. Dalam masa tiga abad itu dunia Islam mencapai kemakmuran yang melimpah,  sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah, seperti kita dapat simak dalam karya sastra  "cerita  seribu satu  malam"  di masa  kejayaan  kekhalifahan Abbasiyah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami  perkembangan  yang tidak terbatas hanya pada praktek hidup bersahaja saja, tapi mulai  ditandai  juga  dengan   berkembangnya   suatu   cara penjelasan  teoritis  yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut ilmu Tasawuf.

Pada tingkat perkembangan inilah muncul beberapa terma  yang dulunya tidak lazim dipakai dalam ilmu-ilmu keislaman. Upaya penalaran para ulama muhaddits dan fuqaha dalam  menjabarkan prinsip-prinsip  ajaran  Islam  mengenai  penataan kehidupan pribadi dan masyarakat yang  sudah  berkembang  selama  tiga abad—dengan  munculnya  disiplin  ilmu Tasawuf—terjadilah pemisahan antara dua pola penalaran, yaitu produk  penalaran ulama muhaddits dan fuqaha yang disebut syari'ah, dan produk penalaran ulama tasawuf yang  disebut  haqiqah.  Selanjutnya para fuqaha pun disebut ahli syari'ah dan para ulama tasawuf disebut ahli haqiqah.

Pada tahap perkembangannya,  secara  berangsur-angsur  pola pikir  dan  pola hubungan antara  ahli  syari'ah  dan ahli haqiqah  makin   berbeda.   Dan   ini   menimbulkan banyak pertentangan   antara  kedua  kelompok  tersebut. Perbedaan tersebut ditandai dengan beberapa hal berikut:

1. Ahli syari'ah menonjolkan—kadang-kadang secara berlebih-lebihan—soal pengalaman agama dalam bentuk yang formalistik (syi'ar-syi'ar lahiriah). Sedang dilain pihak, para ahli haqiqah menonjolkan aspek-aspek batiniah ajaran Islam.

2. Adanya teori-teori ahli haqiqah yang menggusarkan para ahli syari'ah, misalnya teori al-fana fi 'l-Lah (peleburan diri dalam Allah) yang dikemukakan Abu Yazid al-Busthami dan teori Hub Allah (cinta Allah) hasil pemikiran Rabi'ah Al-'Adawiyah serta teori Maqamat-Ahwal (terminal-terminal dan situasi-situasi) ciptaan Dzunnun Al-Mishri. Semua itu dianggap sebagai ajaran aneh oleh para ahli syari'ah.

3. Sebagian ahli haqigah tidak merasa terikat dengan syi'ar-syi'ar agama yang ritual-formalistis. Mereka berkata, kalau seseorang sudah mencapai derajat wali, dia sudah bebas dari ikatan-ikatan formal. Padahal, para pendahulu mereka sangat disiplin dalam pengalaman syari'ah.

4. Ahli haqiqah mengklaim, siapa yang telah sampai perjalanan rohaniahnya kepada Allah dan sudah terlebur dirinya dalam diri Allah, maka dia akan mampu menaklukkan alam dan melakukan hal-hal yang luar biasa (keramat).

Jurang pemisah yang makin hari  makin  melebar  antara  ahli syari'ah  dan  ahli  haqiqah makin menjadi-jadi pada sekitar akhir  abad  kelima  Hijriyah,  dan  Imam   Ghazali berupaya memulihkannya. Dalam kaitan  inilah  beliau  tampil dengan karya besarnya Ihya 'Ulum Al-Din.  Dalam  buku  ini  beliau mempertemukan teori-teori   syari'ah   dengan  teori-teori haqiqah. Ternyata upaya al-Ghazali ini sangat membantu  dalam merukunkan  kembali  antara  para  ahli syari'ah dengan ahli haqiqah.

Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat lembaga  keagamaan  non-formal  yang  namanya "tarekat" asal kata thariqah. Di Jawa Timur misalnya, kita  jumpai  Tarekat Qadiriyah    yang    cukup    dikenal,   disamping   Tarekat Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Tijaniyah dan Sanusiyah.  Dalam satu  dasawarsa  terakhir  ini,  kita melihat adanya langkah lebih  maju  dalam  perkembangan  tarekat-tarekat   tersebut dengan  adanya  koordinasi antara berbagai macam tarekat itu lewat  ikatan  yang  dikenal  dengan nama Jam'iyah Ahl al-Thariqah al-Mu'tabarah.   Pada   tahun   lima  puluhan, pemerintah  Mesir menempatkan  pembinaan   dan   koordinasi tarekat-terekat   tersebut  di  bawah  Departemen  Bimbingan Nasional  (Wizarah  al-Irsyad   al-Qaumi).   Pertimbangannya ialah, bagaimanapun keberadaan penganut-penganut tarekat itu merupakan  bagian  dari  potensi  bangsa/umat,  yang  berhak mendapatkan  perlindungan dalam rangka tertib kemasyarakatan suatu negara.

Untuk lebih mengenal adanya tarekat itu,  ada  baiknya  kita mempertanyakan   kapankah   munculnya   tarekat   (al-thuruq al-shufiyah) itu dalam sejarah  perkembangan gerakan  tasawuf Dr.  Kamil  Musthafa al-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan tasawuf dan gerakan syi'ah mengungkapkan, tokoh pertama yang memperkenalkan  sistem  thariqah  (tarekat)  itu Syekh Abdul Qadir  al-Jailani  (w.  561 H/1166 M) di Baghdad. Ajaran tarekatnya  menyebar  ke  seluruh  penjuru dunia Islam, yang mendapat  sambutan  luas  di  Aljazair,  Ghinia  dan   Jawa. Sedangkan  di Mesir, tarekat yang banyak pengikutnya Tarekat Rifa'iyyah yang dibangun Sayid Ahmad al-Rifa'i.  Dan  tempat ketiga  diduduki tarekat ulama penyair kenamaan Parsi, Jalal al-Din al-Rumi (w. 672 H/1273 M). Beliau membuat  tradisi baru  dengan  menggunakan  alat-alat  musik  sebagai  sarana dzikir. Kemudian sistem ini berkembang terus dan meluas.

Dalam  periode berikutnya muncul tarekat al-Syadziliyah yang mendapat sambutan luas di Maroko dan Tunisia khususnya, dan dunia Islam bagian Timur pada umumnya.

Yang  juga  perlu  dicatat  di  sini ialah munculnya Tarekat Sanusiyah yang  mempunyai  disiplin  tinggi  mirip  disiplin militer.  Di  bawah  syeikhnya  yang  terakhir, Sayyid Ahmad al-Syarif  al-Sanusi  berhasil  menggalang   satu   kekuatan perlawanan  rakyat  yang  mampu memerangi kolonialis Italia, Perancis dan Inggris  secara  berturut-turut,  dan  akhirnya membebaskan  wilayah  Libya.  Mungkin sifat keras dari iklim yang  dibentuk  Tarekat  Sanusiyah  inilah yang mewarnai Mu'ammar  al-Qadafi  mengambil  alih  kekuasaan dan berkuasa sampai saat ini sebagai Kepala Negara tersebut.

Nicholson mengungkapkan hasil  penelitiannya, bahwa sistem hidup bersih dan bersahaja (zuhd) adalah dasar semua tarekat yang  berbeda-beda  itu.  Semua  pengikutnya  dididik  dalam disiplin  itu,  dan  pada  umumnya  tarekat-tarekat tersebut walaupun beragam namanya dan metodenya,  tapi  ada  beberapa ciri yang menyamakan:

1. Ada upacara khusus ketika seseorang diterima menjadi penganut (murid). Adakalanya sebelum yang bersangkutan diterima menjadi penganut, dia harus terlebih dahulu menjalani masa persiapan yang berat.

2. Memakai pakaian khusus (sedikitnya ada tanda pengenal)

3. Menjalani riyadlah (latihan dasar) berkhalwat. Menyepi dan berkonsentrasi dengan shalat dan puasa selama beberapa hari (kadang-kadang sampai 40 hari).

4. Menekuni pembacaan dzikir tertentu (awrad) dalam waktu-waktu tertentu setiap hari, ada kalanya dengan alat-alat bantu seperti musik dan gerak badan yang dapat    membina konsentrasi ingatan.

5. Mempercayai adanya kekuatan gaib/tenaga dalam pada mereka yang sudah terlatih, sehingga dapat berbuat hal-hal yang berlaku di luar kebiasaan.

6. Penghormatan dan penyerahan total kepada Syeikh atau pembantunya yang tidak bisa dibantah.

Dari sistem  dan  metode  tersebut  Nicholson  menyimpulkan, bahwa tarekat-tarekat sufi merupakan bentuk kelembagaan yang terorganisasi  untuk  membina  suatu  pendidikan  moral  dan solidaritas  sosial.  Sasaran  akhir  dari pembinaan pribadi dalam pola hidup bertasawuf adalah hidup bersih,  bersahaja, tekun  beribadah kepada Allah, membimbing masyarakat ke arah yang diridlai Allah, dengan jalan  pengamalan  syari'ah  dan penghayatan   haqiqah  dalam  sistem/metode  thariqah  untuk mencapai ma'rifah.

Apa yang dimaksud dengan kata ma'rifah  dalam  terma  mereka ialah  penghayatan  puncak  pengenalan  keesaan  Allah dalam wujud  semesta  dan  wujud  dirinya  sendiri.   Pada   titik pengenalan  ini  akan  terpadu  makna tawakkal dalam tawhid, yang  melahirkan  sikap  pasrah  total  kepada  Allah,   dan melepaskan dirinya dari ketergantungan mutlak kepada sesuatu selain Allah.